Oh
iya, sekarang hari guru ya. Biar ngeramein postingan tentang hari guru, gue mau
ngebahas secuil pengalaman gue tentang guru.
Guru
itu sering disebut sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Mungkin ungkapan ini yang
buat kenapa orang-orang di pemerintahan seakan-akan menutup mata tentang
kesejahteraan para guru, terutama guru honorer. Terkadang gue ngenes kalau
ngeliat ada ribuan guru yang harus panas-panasan berdemo di depan kantor
gubernur, gedung DPR sampai di istana negara hanya demi menuntut kenaikan upah
dan pengangkatan mereka sebagai pegawai negeri sipil. Seandainya guru di
Indonesia berhenti mengajar, habislah negara ini.
Gue
teringat cerita tentang negara Jepang yang waktu itu baru aja dibom habis ama
Amerika saat perang dunia ke dua. Nagasaki dan Hiroshima hancur, luluh lantah,
rata tanah karena bom atom. Tapi yang gue salut adalah perkataan kaisarnya
ketika itu. Dia nanya bukan “Berapa tentara yang tersisa?” tapi “Berapa guru
yang tersisa?” Sumpahhh, pas gue nulis kalimat ini, air mata gue keluar gak
bisa kebendung. Gue langsung keinget guru-guru gue sejak SD, SMP, SMA bahkan
sampe Kuliah.
Lihat
negara Jepang sekarang, yang begitu menghargai jasa gurunya, mereka negara
termaju di Asia. Teknologinya ampe kesebar ke seluruh dunia, mulai dari pemutar musik, peralatan elektronik, sepeda motor, mobil bahkan mereka sedang gencar membuat robot. Seandainya presiden kita
dan jajaran pemerintahannya juga memperhatikan nasib guru, betapa akan majunya
negeri ini. Miris memang, tapi itulah yang terjadi di negeri tercinta kita ini.
Gurulah yang telah mengajarkan pada jutaan anak kecil bagaimana menulis, membaca, mendengarkan dan berpikir. Berkat mereka jugalah gue bisa menulis, dan berkat mereka juga kalian bisa baca tulisan ini. Jadi gak ada alasan lagi buat kita tidak menghargai mereka.
Gurulah yang telah mengajarkan pada jutaan anak kecil bagaimana menulis, membaca, mendengarkan dan berpikir. Berkat mereka jugalah gue bisa menulis, dan berkat mereka juga kalian bisa baca tulisan ini. Jadi gak ada alasan lagi buat kita tidak menghargai mereka.
Ngomongin
tentang guru, setiap orang pasti punya ceritanya sendiri tentang guru-guru
mereka, termasuk gue. Gue punya guru favorit, terutama pas masa SMP. Guru
favorit gue adalah Pak Subur, beliau adalah guru matematika. Walau namanya
Subur, tapi tubuhnya gak demikian. Penampilannya kurus, jalannya pelan, melayang
seperti berjalan di bulan. Bajunya selalu kemeja berlengan pendek dengan celana
panjang yang dipasang hingga ke pusar, persis seperti pak haji Jojon. Beliau
orangnya pendiam, tutur katanya pelan dan santai.
Sejak
SD gue sebenarnya udah senang dengan pelajaran matematika, tapi belum ketemu
ama guru yang tepat. Pernah waktu gue duduk di kelas satu, gue dapet guru
matematika yang cara mengajarnya gampang dimengerti, namanya pak Gunawan.
Beliau guru baru yang merupakan pindahan dari sekolah swasta elit yang terkenal
di tempat gue. Sayangnya, ada sebuah kejadian yang ngebuat gue jadi males
belajar matematika. Kejadiannya waktu itu pas ulangan harian, gue ngerjain
semua soal dengan benar. Di depan gue ada anak baru pindahan dari SMP favorit,
semua jawaban dia hasil nyontek punya gue. Tapi pas pembagian hasil ulangan,
nilai dia sepuluh sementara nilai gue sembilan. Guru itu bilang, “jawaban kamu
kok bisa sama ama dia. Kamu nyontek ya?” karena jawabannya sama, makanya gue
gak dikasih nilai sempurna ama tuh guru. Namanya masih berjiwa labil, tuduhan
itu langsung buat gue males belajar matematika lagi. “Kerja keras gue ternyata
gak dihargain” pikir gue waktu itu.
Namun
pas gue diajar ama pak Subur di kelas tiga. Gue menemukan keasyikan kembali
dengan pelajaran itu. Gaya pengajaran beliau tidak berbelit-belit, simpel dan
yang ngebuat gue senang, beliau paling suka kalau diajak berdiskusi tentang
soal-soal yang sulit. Karena seringnya kami berdiskusi, akhirnya gue ngerasa
nih guru emang cocok buat jadi panutan. Dan sejak itu, gue kembali suka dengan
pelajaran matematika. Alhasil, nilai Ebtanas matematika gue salah satu yang
terbaik di sekolah.
Selain
punya pengalaman menyenangkan dengan guru favorit, gue punya pengalaman
memalukan dengan seorang guru olahraga, namanya pak Subiyanto (bukan nama
aslinya). Beliau ini memiliki postur tubuh yang cukup tinggi tapi tidak kekar.
Kalau beliau bicara, hidungnya seperti tersumbat, seperti bengek. Kakak-kakak
kelas gue sering manggil dia dengan sebutan pak Doyok. Sebutan yang sebenarnya
kurang pantas diucapkan oleh anak didiknya. Gue dan temen seangkatan juga
akhirnya ikut manggil nama itu. Tapi kalau nyebut nama itu di depan orangnya
langsung, kita gak berani. Sayangnya, sebutan itu masuk ke dalam otak bawah
sadar gue.
Kejadiannya
waktu itu pelajaran olahraga. Kebetulan pak Subiyanto lagi ke toilet ruang guru
yang bersebelahan dengan lapangan basket. Gedung guru itu udah gak kepake
karena atapnya baru aja kebakar. Terpaksa ruang guru dipindahkan ke tempat yang
lain, hanya toiletnya aja yang masih bisa dipakai dan itu pun selalu digembok.
Pas
gue lagi asyik-asyiknya mainin bola basket bareng temen, beliau manggil gue.
“Blong…!
Blong…!” panggilnya.
Waktu
itu gue gak ngeh, dan sibuk mainin bola basket, lempar-lemparan trus mantul
mantulin ke arah temen.
Ehh
beliau manggil lagi. “Blong… blong…!” kali ini dengan suara yang lebih keras.
Temen
gue yang lagi megang bola langsung diam. Dia ngasih tau gue untuk ngelihat ke
arah ruang guru. Pas gue lihat, di sana ada pak Subiyanto yang lagi berdiri di
balik teralis besi.
“Blong..
sini…!” pintanya.
Tanpa
basa-basi lagi gue langsung nyamperin.
“Ada
apa, Pak?” tanya gue kebingungan.
“Blong,
tolong mintain kunci gembok ini ama ibu guru itu ya.” Tunjuknya ke arah
perempuan yang sudah berjalan jauh.
Dalam
hati gue cekikikan sendiri ngeliat pak Subiyanto yang kekunci di toilet ruang
guru. “Hahaha…. Kasian banget nih pak Doyok, kekunci di toilet guru.” Ucap gue
dalam hati.
“Buruan,
Blong…!” perintahnya.
Akhirnya
gue nguber ibu guru itu yang rupanya udah masuk ke dalam ruangannya.
Di
dalam ruangan guru yang cukup ramai, gue ngelihat ibu guru tadi. Tanpa pikir
panjang, gue langsung samperin.
“Bu,
saya mau minta kunci toilet ruang guru.” Ucap gue sedikit grogi, karena
jarang-jarang gue masuk ke ruangan itu.
“Kunci
toilet, buat apa?” tanyanya kebingungan karena murid-murid gak diijinkan buat
pake tuh toilet.
Dengan
cepatnya gue jawab tanpa mikir panjang lagi. “Itu, pak Doyok kekunci di
toilet.”
Ibu
guru itu diem sejenak, sepertinya beliau sedang berpikir keras. “Pak Doyok,
siapa pak Doyok?” ucap ibu guru itu keheranan.
“Damn…!”
Tiba-tiba gue sadar udah nyebutin nama yang salah.
“Pak
Doyok itu siapa ya?” tanyanya dengan suara sedikit keras ke arah guru-guru yang
lain. Tapi gak ada satu pun guru-guru di ruangan itu yang tahu.
“Eh
maaf, Bu. Pak Subiyanto maksudnya.” Potong gue cepat.
Ucapan
gue barusan kontan ngebuat ruangan yang tadinya senyap berubah jadi riuh ramai.
Satu ruangan itu ketawa ngakak sejadi-jadinya, cuma gue doang yang gak ketawa
dan tampak ketakutan serta langsung pucat.
“Uhhh
sial, gue salah ngomong.” Gumam gue dalem hati.
“Ohh
jadi pak Doyok itu pak Subiyanto.” Ucap ibu guru itu menegaskan.
Gue
gak jawab, cuma bisa mesem-mesem serbasalah. Malunya minta ampun diketawain
guru-guru seruangan.
“Ha…
ha…. Ha… ada-ada aja pak Subiyanto dipanggil pak Doyok.” Seru salah satu guru
di ruangan itu yang langsung kembali disambut gelak tawa.
“Lain
kali, jangan nyebut nama itu lagi ya.” Katanya sambil nyubit perut gue. “Gak
sopan manggil guru dengan nama sebutan seperti itu.” Ujarnya.
Gue
masang tampang menyesal. “Iya, Bu. Maaf. Keceplosan tadi.” Kemudian ibu guru
itu ngasih kunci toiletnya ke gue. Dan gue pun meninggalkan ruangan itu sambil
berjalan nunduk. Gue ngerasa muka ini seperti dipenuhi adonan semen.
Selama
perjalanan menuju ke tempat pak Subiyanto, gue ketakutan. “Gimana kalau nanti
guru-guru itu cerita semuanya, habislah gue.”
Dan
benar aja, beliau akhirnya tahu. Pak Subiyanto yang baru aja ngembaliin kunci
toilet ke ruang guru, langsung nyamperin gue. Gue panik dan pengen buru-buru
langsung lulus sekolah.
“Kamu
tadi bilang apa di ruang guru?” tanya pak Subiyanto waktu sampai di depan gue.
Gue
langsung lemes dengar pertanyaan itu. “Engggg…. Engg…..!”
Temen
di sebelah gue kebingungan ngeliat kelakuan gue yang tiba-tiba langsung aneh
dan pucat.
“Ya
udah, gak apa-apa. Lain kali jangan diulangin.” Ucapnya sambil ngacak-ngacak
rambut gue.
“Iya,
Pak. Maaf.” Kata gue sambil menyesal.
Pak
Subiyanto akhirnya melanjutkan pelajaran olahraganya. Sementara gue jadi gak
semangat ngikutin pelajarannya di siang itu.
Sejak
kejadian itu, gue udah gak berani manggil beliau dengan sebutan pak Doyok di
depan temen-temen gue. Dan sejak kejadian itu juga, gue gak berani nyebut
guru-guru yang lain dengan sebutan-sebutan yang gak pantas. Karena memang, gak
sepantasnya gue sebagai murid menghina mereka walau niatnya hanya cuma untuk
bahan bercandaan aja. Sudah sepatutnya gue menghargai mereka atas ilmu yang
sudah diberikannya selama ini.
Akhir kata, gue cuma bisa berterimakasih atas segala ilmu yang diberikannya selama ini. Semoga semuanya panjang umur, ditambahkan rezekinya dan diberikan
kesehatan oleh Allah SWT aminnn…! (´⌣`ʃƪ)