Beberapa hari yang lalu gue lagi santa-santai di
ruang tamu sambil mengenang masa lalu, mengingat kenangan-kenangan waktu gue
bersama dia #tsahh. Tapi gue sedikit terganggu dengan keadaan di luar rumah
yang agak ramai. Maklum aja di sebelah rumah gue ada beberapa kontrakan.
Kebetulan sekali dua diantaranya punya anak kecil yang masih lucu-lucunya,
usianya sekitar hampir dua tahunan. Anak yang satu perempuan bernama Kinah,
yang satunya lagi laki-laki bernama Faiz. Dua anak ini kontrakannya pas banget
bersebelahan, jadi mereka sering ketemu. Yang namanya anak kecil, kerjaannya
pasti main sambil teriak-teriak tanpa peduli dengan orang-orang di sekitarnya.
Untungnya mereka cuma main di sebelah rumah, karena
di hari biasanya mereka mainnya di dalam rumah gue, ngacak-ngacak barang di
dalem rumah sambil teriak-teriak kenceng. Kalau mereka dah teriak-teriak di
dalem rumah, gue hanya bisa pasrah sambil ngurut dada tetangga. #ehh
Nah pas sore itu, mereka bermain di depan kontrakan
mereka, sementara ibu-ibu mereka lagi ngobrol asyik bersama ibu-ibu yang lain
di depan teras rumah gue. Biasalah kalau ibu-ibu udah ngumpul, pasti ada aja
obrolan yang mereka perbincangkan, mulai dari ngomongin sinetron Tukang Haji
Naik Bubur, ngobrolin kontestan kontes dangdut yang mereka idolakan, sampai
ngomongin gossip artis-artis terbaru, pokoknya obrolan mereka gak jelas
juntrungannya.
Saat ibu-ibu mereka begitu semangatnya bercerita entah
kenapa tiba-tiba si Faiz nangis, dia meraung-raung kencang seperti baru aja kehilangan
keperwanannya karena direnggut oleh lelaki hidung belang, padahal dia itu kan
laki-laki. Tepat di depannya, anak perempuan yang tadi diajaknya main terlihat
santai sambil memegang roti. Dengan cueknya dia melahap habis makanan itu. Mendengar
tangisan anaknya, ibunya Faiz langsung menghampiri.
“Kenapa, Nak? Kok nangis.”
“Hwa….. hwa…….”
“Kamu kenapa, Nak?”
“Hwaaa…. Hwa…..” sambil nunjuk makanan di tangan
Kinah.
“Udah diam-diam ya. Nanti ibu beliin roti lagi.” Pinta
ibunya. Mendengar bujukan ibunya, Faiz mulai sedikit diam.
Usut punya usut, rupanya makanan yang tadi dimakan
Kinah adalah milik Faiz yang diambilnya secara paksa. Anak kecil bernama Kinah
ini memang senang sekali suka mengambil paksa makanan milik orang lain. Jangankan
milik anak kecil, makanan gue aja sering diambil paksa ama dia. Pernah satu
waktu, gue lagi asyik-asyiknya makan gorengan di ruang tamu, dan itu gorengan satu-satunya
milik gue. Entah dari mana dia datangnya, Kinah tiba-tiba nyomot gorengan yang
lagi gue pegang dan langsung kabur ke rumahnya. Gue cuma bisa pasrah dan
memetik pelajaran dari kejadian itu. Di hari berikutnya, gue kalau makan
sesuatu memilih untuk makan di dalam kamar.
Faiz akhirnya berhenti menangis dan mulai ikhlas menerima
barang miliknya diambil oleh orang lain. Selang beberapa menit kemudian, mereka
berdua pun kembali bermain. Mereka kejar-kejaran dengan penuh riangnya. Tidak
ada rasa sakit hati di benak anak lelaki itu padahal makanannya baru aja dirampas
teman perempuannya. Mereka berdua akhirnya berdamai dan melupakan apa yang tadi
terjadi.
Di tempat yang lain, di hari yang sama, di tempat
kontrakan yang gak jauh dari rumah gue, terdengar kabar yang gak enak. Dua
keluarga yang bertetangga saling tengkar. Awal masalahnya sepele, hanya gara-gara
sampah. Jadi keluarga itu gak rela kalau tetangganya ngebuang sampah di tempat
sampah miliknya. Dari permasalahan sepele itu, kemudian berlanjut ke
permasalahan lain semisal si tetangga tidak suka mendengarkan tetangganya yang
sering menyetel musik keras-keras, tidak suka anak tetangganya mengotori teras
rumahnya, dsb. Karena seringnya mereka bertengkar akhirnya dua keluarga itu
saling bermusuhan.
Terjadi perang dingin, mereka tidak bertegur sapa
dan ujungnya terjadi pertengkaran hebat yang melipatkan kedua anggota keluarga
tersebut. Dua kepala rumah tangga itu saling tidak terima dan akhirnya siap
duel mempertaruhkan nyawa masing-masing. Mereka sudah siap dengan parangnya
masing-masing. Untungnya ada tetangga sekitar yang mengetahui dan mencoba
mendamaikan. Sayangnya hal itu tidak digubris oleh mereka, bahkan kepala RT pun
dibiarkannya. Melihat keadaan yang semakin panas, akhirnya pak RT memanggil
polisi untuk mendamaikan mereka. dengan bantuan polisi barulah mereka mau berdamai
dan tidak ada pertumpahan darah antar tetangga.
Bukan hanya cerita dari tetangga gue yang bikin
miris, beberapa hari lalu santer berita tentang pembunuhan Ade Sara yang
dibunuh oleh mantannya. Tubuh Ade Sara dibuang di pinggiran jalan tol. Alasannya
sepele, si mantan sakit hati karena Ade Sara tidak mau ditemui lagi. Bodohnya
lagi, pembunuhan itu dilakukan oleh sang mantan bersama pacar barunya. Miris
memang, tapi itulah yang terjadi. Sakit hati memang terkadang menghapus logika.
Melihat kejadian itu, gue berpikir keras. Kenapa ya
kita gak seperti anak kecil yang kalau bertengkar cukup saat itu saja. Setelah
bertengkar bisa saling memaafkan tanpa ada rasa dendam dan sakit hati. Kenapa
kita gak seperti Faiz yang bisa dengan cepat memaafkan Kinah dan melupakan
semua kejadian yang menimpanya. Walaupun mereka bertengkar dan salah satu pihak
dirugikan, tapi mereka tidak bertengkar dalam waktu yang lama. Mereka bisa segera
melupakan pertengkaran itu dan kembali bermain seperti semula. Tidak ada rasa
sakit hati, tidak ada rasa dendam di antara kedua anak kecil itu.
Mungkinkah hal itu bisa terjadi juga di orang
dewasa, sepertinya sangat sulit. Orang dewasa terlalu mudah sakit hatinya dan
paling susah memaafkan. Kita terlalu menjadi manusia beperasa yang membuat kita
terlalu mudah tersinggung oleh tindakan dan perkataan orang lain. Kita paling
mudah mengingat perlakuan tak menyenangkan dari orang lain ketimbang mengingat
kebaikannya.
Kebanyakan
dari kita mengaku dewasa tapi tidak lebih dewasa dari anak-anak. Kita mengaku
tua tapi tingkah laku kita tidak jauh bermartabat dari anak-anak. Semoga saja
kita bisa belajar menjadi seperti anak-anak lagi, bermusuhan sebentar lalu
kembali berteman, pernah menyakiti tapi cepat melupakan, tidak mudah tersinggung
tapi rajin memaafkan. Dengan begitu, tidak akan ada lagi tawuran antar pelajar,
tidak ada lagi tetangga yang bermusuhan, tidak ada lagi pejabat yang saling hujat,
tidak ada lagi orang yang merasa dirinya paling benar, tidak ada lagi
pengrusakan rumah-rumah ibadah. Dan tidak ada lagi Ade Sara – Ade Sara
berikutnya. Semoga…!