Apa Kabar Bioskop


Sejak kecil, Oblong suka sekali nonton film  di bioskop. Awal-awal suka nonton itu karena waktu SD dulu ada program nonton film bareng di bioskop, biasanya diadakan setahun sekali. Jadi kami, satu sekolah rame-rame pergi ke bioskop, dan satu bioskop isinya temen sekolah semua dan semuanya jomblo. Inget ya gaes, nonton bioskop yang isinya semua jomblo itu enak, gak ada tuh cewek cowok yang gandengan tangan bikin sepet mata, atau gak ada pasangan yang ngobrol mesra sambil cekikikan bikin kuping gerah. Oblong inget, waktu itu pilem pertama yang ditonton adalah Si Badung. Filmnya bagus, menginspirasi, bikin terharu dan di akhir cerita, Oblong nangis, trus pulangnya diledekin temen-temen sekelas. Heuheuheu :’(.
Yang sangat berkesan waktu pertama kali nonton di bioskop adalah sensasi melihat layar yang gede banget, sama suara sound systemnya yang menggelegar cetar membahana semesta alam nusantara jambul katulistiwa. Sejak hari itu, akhirnya Oblong jadi suka nonton film di bioskop. Kalau awalnya nonton rame-rame sama temen-temen, lama kelamaan akhirnya terbiasa nonton sendirian.
Dulu, di kota tempat tinggal Oblong, di Bandar Lampung, banyak sekali bioskop, lebih dari 10 bioskop. Hampir semua bioskop yang ada di Bandar Lampung kala itu sudah Oblong gagahi. Mau dari bioskop kalangan atas, sampai bioskop kalangan bawah. Dari bioskop berbangku empuk, sampai bioskop berbangku triplek dan kayu, dari bioskop yang muterin film Bollywood sampai film Hollywood, dari yang harga tiket ratusan rupiah sampai ribuan rupiah. Saking banyaknya bioskop, kita tinggal milih mau nonton film di mana, mau film apa, yang penting sesuai dengan keuangan di kantong.

Megaria Theatre

Waktu masih SD, bioskop favorit Oblong namanya Megaria Theatre, kebetulan jaraknya yang paling deket dari rumah. Namanya mirip bioskop di daerah Menteng ya, bioskop bersejarah di kota Jakarta. Mungkin yang punya bioskop terinspirasi dari bioskop terkenal di Jakarta itu. Di Megaria Theatre, layarnya cuma satu, tapi kapasitasnya gede buanget, ruangannya luas, bisa nampung 800-1.000 orang lebih. Bangkunya dibuat dari papan dan triplek. Bentuknya memanjang, jadi kalau orang yang diujung lagi goyangin bangku, berasa ampe ke ujung satunya lagi. Bangkunya gak ada empuk-empuknya deh. Tapi anehnya, bioskop itu sering kebanjiran penonton, bahkan melebihi kapasitas bangku. Pernah waktu itu, oblong nonton film Chow Yun Fat yang judulnya Full Contact, yang nonton bejibun, ampe duduk di tangga dan lantai depan dekat layar, termasuk Oblong. Kami nontonnya lesehan di lantai sambil dongak. Kelar nonton film, leher pada pegel-pegel, pinggang langsung encok. Yang unik dari bioskop ini, di tengah-tengah film ada jeda istirahat 10 menit. Waktu 10 menit itu digunakan para penonton buat beli makanan di kantin atau ke toilet. Oh iya, tiket bioskopnya waktu itu hanya 300 rupiah. Murah banget, kan?! :D

Kim Jaya Theatre

Lanjut naik ke SMP, hobi Oblong buat nonton bioskop gak berkurang, malah menjadi-jadi. Oblong pun naik level, dari yang awalnya suka nonton di bioskop level kampung, mulai naik level setengah kota. Nama bioskop favorit Oblong waktu jaman SMP itu namanya Kim Jaya. Buat orang yang tinggal di Bandar Lampung, khususnya di sekitaran Teluk Betung, bioskop ini terkenal banget. Bahkan sampai sekarang gedung bioskopnya masih ada, tapi ya gitu, terbengkalai gak terpakai.

Pintu masuk menuju theatre 2 dan 3 di Kim Jaya

Di bioskop itu ada 3 theater, theater 1 untuk kalangan menengah ke bawah, filmnya gak terlalu baru, kebanyakan film Hongkong, yang nonton kebanyakan keturunan Tionghoa. Tiketnya 1.000 rupiah kalau siang, 1.500 rupiah pas malam. Bangkunya empuk, bisa dilipet, tapi sandarannya pendek, cuma nutupin punggung sedikit. Di theater 2 dan 3 kualitas theaternya lebih bagus, bangkunya empuk, sandarannya tinggi sampai kepala, persis seperti bangku bioskop jaman sekarang. Di sini biasanya diputer film-film box office yang lumayan baru. Film yang baru turun layar dari bioskop kalangan atas langsung diputer di sini. Harga tiketnya hanya Rp. 2.500,-. di bioskop inilah oblong sempet nonton film seperti Jurrasic Park The lost world, Twister, Street Fighter, dll. Nah, waktu jaman SMP ini oblong juga sesekali ke bioskop yang sering nayangin film 17 tahun ke atas, terutama film-filmnya Reynaldi. Hihihihi…. Nama bioskopnya Queen, letaknya gak jauh dari bioskop Kim Jaya.

Bioskop Queen, dulu di depannya banyak yang jualan ikan cupang.

Naik ke SMA, Oblong naik level lagi ke Bioskop elit dengan harga tiket paling mahal di antara bioskop-bioskop yang ada se kota Bandar Lampung. Nama bioskopnya kalian pasti sudah pada kenal, itu loh yang ada hampir di setiap mall di Jakarta. Di Bandar Lampung waktu itu cuma ada 2 bioskop jenis ini, yang pertama di Artomoro (sekarang jadi Central Plaza), yang satunya lagi di Sukaraja, deket terminal. Oblong pribadi sih lebih suka nontonnya di Sukaraja, meski ke sana agak susah karena harus 3 kali naik angkot, tapi enaknya, di ruang tunggu bioskopnya kita bisa melihat pemandangan laut kota Bandar Lampung. Soalnya, tepat di belakangnya, langsung berbatasan dengan laut, cuma dibatasin sama parkiran gedung bioskop. Harga tiket waktu itu Rp. 3.500. Tapi sayang, sekarang gedungnya udah rata tanah.

Central Plaza (gedung lama) yang dikenal sebagai Artomoro.

Central Plaza (Sekarang)

Nah, pas lulus SMA kan Oblong pindah ke Jakarta. Hobi nonton masih jalan terus. Karena Oblong tinggalnya di sekitaran Tanjung Priok, ya tempat nonton yang sering dikunjungi ya bioskop di sekitaran Jakarta Utara seperti di Sunter Mall, Kelapa Gading 1 dan yang paling jauh di Atrium Senen. Kalau sekarang sih nontonnya di Mall Artha Gading atau gak di Mall Kelapa Gading 3.
Yang jadi pertanyaan sekarang, “Lalu bagaimana kabar bioskop-bioskop itu saat ini?” Sejak oblong tinggalin kota Bandar Lampung di tahun 2001, bioskop itu masih ada tapi sekarang sudah gulung tikar. Konon kabarnya, ambruknya bioskop-bioskop itu karena berkembangnya teknologi. VCD bajakan beredar di mana-mana, setiap rumah hampir memiliki VCD Player. Mungkin itu yang bikin penikmat film beralih dari yang tadinya nonton film di bioskop, berubah menjadi nonton film di rumah. Tapi apa iya penyebab sebenarnya itu? Sebab kalau dipikir-pikir, seharusnya semua bioskop bakalan ambruk karena banyaknya beredar VCD/DVD bajakan, lalu kenapa hanya ada satu bioskop yang bertahan sampai sekarang, bioskop yang tarifnya paling mahal itu.
Entah apa penyebab pasti matinya bioskop-bioskop kelas menengah ke bawah, apakah benar karena maraknya VCD/DVD bajakan, ataukah pasokan/distribusi film ke bioskop itu dipermainkan, agar pelan-pelan membuat bioskop-bioskop itu kolaps. Tapi yang pasti, dengan berkurangnya kompetitor, maka kesempatan untuk monopoli pasar terbuka lebar. Tiket bioskop bisa dinaikkan semaunya karena pecinta film tidak punya pilihan lain. Ya, meski sekarang beberapa jaringan bioskop baru bermunculan, tapi hanya bisa dihitung dengan jari saja. Pasokan filmnya pun tidak semeriah di jaringan bioskop terkenal itu. Kesannya, mereka hadir hanya untuk menutupi fakta bahwa film sudah dimonopoli oleh satu pihak.


Oblong sendiri sempat memiliki pertanyaan besar di kepala, “Apa iya, biaya impor film begitu mahalnya sehingga para penonton dibebani tiket yang cukup mahal (bagi ukuran saya).” Lalu kenapa film lokal, yang notabene gak butuh biaya impor, harga tiketnya sama dengan film impor. Padahal dulu, sekitar tahun 2001, Oblong pernah menyaksikan perbedaan harga antara film lokal dan film impor di salah satu bioskop terkenal itu. Waktu itu sedang diputar film Jelangkung dan Harry Potter. Harga tiket masuk kedua film berbeda. Dan oblong sempat menanyakan ke petugas kenapa film Harry Potter lebih mahal, dan jawaban mereka karena film barat itu impor.
Sangat miris memang melihat keadaan sekarang ini yang mana bioskop didominasi oleh satu perusahaan, perusahaan yang memiliki 90% lebih jaringan bioskop di seluruh Indonesia. Gak ada pilihan bioskop lain untuk menikmati film dengan harga tarif masuk yang ramah di kantong. Menonton bioskop bukan hanya untuk kalangan atas, tapi kalangan bawah pun ingin merasakan.
Terus terang, hobi Oblong untuk nonton film di bioskop sudah hampir pudar, bukan karena filmnya yang gak menarik, tapi karena tiket bioskopnya terlalu MAHAL (bagi ukuran saya) yang secara tidak langsung akan menguras isi kantong. Menonton bioskop jaman sekarang ini hanya bisa dikonsumsi sama kalangan menengah ke atas yang uang 40.000 - 60.000 bukan nilai yang besar. Kalau pun kalangan bawah ingin menonton, dengan terpaksa mereka harus merogoh kantong lebih dalam. Bayangin aja, dulu Oblong suka nonton bioskop seminggu 2 kali, kalau sebulan berarti bisa 8 kali dengan range harga tiket dari Rp. 300 – Rp. 3.500. Dengan tiket sekarang yang harganya rata-rata 50.000,- Berarti dalam sebulan Oblong harus ngeluarin duit Rp. 400.000/bln. Heloouww, uang segitu gede banget, mending buat dibeliin beras untuk dapur emak, sisanya buat kuota internet biar bisa stalkingin TL mantan. Dan bagi anak kost, uang 50.000 bisa buat makan selama 3 hari loh. Gak kebayang kan kalau anak kost, ngajak pacarnya nonton bioskop seminggu sekali. Akhir bulan, kelar hidupnya. Yang ada, pas nonton film, bukannya menikmati filmnya tapi malah mikirin, “besok gue makan apa ya?”
Oh seandainya saja bioskop banyak, tersebar sampai ke kota-kota kecil, tiket bioskopnya pun murah, Oblong rasa gak ada lagi tuh produser lokal yang ngeluh filmnya kurang peminat, sedih karena cuma tayang satu minggu, kecewa karena kurang dapet layar di jaringan bioskop ternama, ujung-ujungnya berharap hak siar filmnya dibeli sama salah satu stasiun televisi.


Coba bayangkan, di negara tercinta kita ini, ada banyak kota-kota kecil yang tidak memiliki bioskop. Mereka sebenarnya ingin sekali menonton film yang sama yang sedang ditonton oleh teman-teman mereka di kota besar. Karena tidak adanya sarana, mereka pun mencari alternatif lain untuk menonton film itu. Mendownload film di internet adalah cara cepat dan termurah yang bisa mereka dapatkan. Dan terjadilah kebiasaan mendownload film karena akses menonton film di bioskop tidak ada, atau sangatlah mewah, tak terjangkau oleh orang-orang yang berkantong pas-pasan. Inilah kenyataan yang ada sekarang. Lagipula, menonton film di bioskop bukanlah kebutuhan pokok yang jika tidak ke bioskop maka kita akan mati. Mereka hanya mencari alternatif lain untuk menikmati sebuah film, yang tentunya dengan biaya yang murah dan cepat diakses.
Dan begitu juga dengan Oblong. Menonton bioskop sudah tak lagi menjadi prioritas. Hiburan menonton bioskop yang ramah kantong menjelma menjadi hiburan mewah. Setahun pun paling bantar 2-4 kali ke bioskop. Itu pun hanya menonton film yang memang benar-benar ditunggu. Lalu apakah Oblong masih suka nonton film? Ya jelas masih suka, hampir setiap hari nonton film. Tapi sudah gak di bioskop, di rumah aja. Meski terkadang Oblong kangen juga sama suasana di bioskop. Sebagi penikmat film, ada yang kurang ketika menonton film di rumah. Ya, tapi mau gimana lagi, selama harga tiket gak ramah di kantong, Oblong akan lebih banyak nonton film di rumah.  ;)
Oke, mungkin segitu aja tulisan yang bisa Oblong tulis kali ini, sebagai perwakilan perasaan, yang membuat hati gak nyaman ketika melihat tiket bioskop yang semakin tak ramah di kantong. Semoga saja pemerintah bisa mencari solusi agar bioskop-bioskop kecil bisa tumbuh kembali seperti dulu. Dan tentunya pasokan/distribusi film bisa menyebar, tidak dipermainkan oleh salah satu pihak. Amiiin….

Pict bioskop by Duniaindra.com

One Response so far.

Leave a Reply