Selesai sudah drama yang membebani rakyat beberapa
bulan terakhir ini. MK sudah mengetuk palu, dan jadilah kita punya pemimpin
baru. Senang? Sudah barang tentu. Apakah semua orang senang? Belum tentu. Masih
banyak yang gak terima dengan keputusan tersebut, terutama bagi pendukung salah
satu calon. Tapi mau tidak mau harus diterima. Rakyat sudah memilih, KPU sudah
menetapkan dan MK pun menolak gugatan pihak yang kalah. Itu berarti, putusan
KPU sah adanya. Untuk itu, pada kesempatan ini gue sebagai wargan negara yang
baik mau ngucapin,
“Selamat kepada bapak Ir. H. Joko Widodo dan bapak Drs.
H. M. Jusuf Kalla yang telah terpilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI
periode 2014-2019. Semoga Indonesia menjadi negara yang jauh lebih baik.”
Pemilu presiden kali ini bisa dibilang yang paling
melelahkan bagi banyak orang, termasuk gue. Bagaimana enggak, kita yang pada
awalnya akan mengira pertarungan ini akan berakhir di tanggal 22 juli, malah
terus dipertontonkan pertarungan dua kubu hingga tanggal 21 agustus kemarin.
Perjalanan satu bulan, tapi sangat melelahkan karena kita harus terus bersilang
pendapat bersama teman, keluarga, atau orang yang tidak kita kenal di media
sosial. Ini seperti sedang menonton film yang kita mengira film akan segera
berakhir, kita siap untuk meninggalkan bangku, tapi ternyata ceritanya masih panjang.
Untungnya, ketuk palu MK mengakhiri semuanya, dan jadilah kita punya presiden
yang ke 7.
Bapak Presiden, semua sudah siap.
Gue sempat membanding-bandingkan pemilu beberapa
tahun terakhir ini dengan pemilu di masa-masa gue tumbuh besar, jaman di mana
orde baru berkuasa puluhan tahun. Jaman dulu, kita gak bisa milih siapa yang
bakal kita pilih biar jadi presiden, sebab presidennya itu lagi dan itu lagi. Mekanisme
pemlihan presiden berada di MPR, sementara mayoritas anggota MPR notabene berasal dari partai Golkar dan ABRI yang merupakan penyokong presiden yang berkuasa saat itu. Jadilah kita punya presiden yang
selama 32 tahun berkuasa.
Saat-saat pemilu kala itu adalah waktu yang meresahkan
bagi gue, sebab biasanya menjelang pemilu akan banyak cerita-cerita aneh dan
menyeramkan, seperti kisah Si Tangan Panjang yang membangunkan orang-orang di
dalam masjid atau rumah. Katanya, tangannya itu bisa melar dan menembus kaca.
Cerita orang berpakaian seperti ninja yang kadang berjalan di atap-atap rumah.
Cerita-cerita aneh itu berhasil ngebuat hari-hari gue dirundung ketakutan, maklum
saja, saat itu gue masih kecil.
Dulu, jarang sekali ada kampanye terbuka, segala
sesuatunya dilakukan secara sembunyi-sembunyi, bahkan untuk masang spanduk atau
stiker lambang partai peserta pemilu aja harus tengah malam, waktu di mana
semua orang sudah tertidur. Belum lagi risikonya, kalau kedapatan menempel
lambang partai yang notabene bukan partai yang sedang berkuasa, bisa-bisa
ditangkap aparat. Udah gitu, jaman dulu kalau ada orang-orang yang suka
kumpul-kumpul ampe larut malam walau cuma main gaple, bakal dicurigain. Kalau
masih ngotot juga buat kumpul-kumpul tengah malam, akan ada orang asing
berpakaian hitam-hitam, menunggang motor, hilir mudik di tempat itu.
Sebagian orang ada yang bilang, jaman orba itu enak,
apa-apa murah. Tapi bagi gue, jaman orba itu tak lebih dari sebuah fatamorgana,
sebuah gambaran kehidupan yang seolah-olah indah tapi nyatanya tidak. Kita
dibuai dengan harga BBM yang murah sementara hutang negara terus bertambah,
berlipat-lipat. Yang pada akhirnya kita merasakan beban hutang itu di saat ini.
Hutang yang diwariskan dari rezim lampau. Buat apa kita melihat yang indah tapi
nyatanya itu palsu. Bukankah lebih baik berkata jujur walau pahit, ketimbang
berbicara manis tapi bohong.
Apik, Mbah. :)
Gue gak mengatakan apa yang dilakukan presiden
di jaman itu buruk semua. Bagi gue sih seburuk-buruknya orang pasti ada
baiknya, sebaik-baiknya orang pasti ada buruknya. Tapi kalau gue diminta apakah
mau kembali ke jaman orde baru, jelas gue jawab tidak. Kenapa? Karena gue
pernah ngerasain hidup di jaman itu, di jaman semua itu hanyalah kepalsuan,
sebuah propaganda. Jaman di mana orang banyak dibungkam, jaman di mana orang mudah
sekali dicap PKI, jaman di mana banyak orang-orang hilang tanpa kejelasan.
Kemarin lusa gue sempat ngetwit sebuah cerita yang agak
horror yang pernah gue alami di jaman itu. Pengalaman waktu kecil itu masih
membekas sampai sekarang. Bahkan kalau diinget-inget kadang bikin bulu kuduk gue
merinding. Dan cerita horror itu terjadi di masa orde baru.
Jadi dulu, di tahun 80an, gencar sekali berita
tentang PETRUS (Penembak misterius). Penembak misterius ini biasanya akan menghilangkan nyawa orang-orang yang dianggap meresahkan masyarakat, mengganggu keamanan,
seperti preman, residivis, dsb. Biasanya, orang yang dianggap preman pada saat
itu adalah orang-orang yang memiliki tato. Dan muncul desas-desus bahwa mereka
yang bertato akan menjadi target operasi si penembak misterius. Orang-orang
yang kadung punya tato akan berusaha menghilangkan tatonya agar gak dicap
sebagai preman. Mereka mencoba menghilangkan tatonya dengan cara apa saja, ada
yang pakai silet, ada juga yang pakai setrika.
Bagi mereka yang bertato, hidup mereka menjadi resah
karena suatu waktu dirinyalah yang akan ditembak mati. Gak heran deh kalau
jaman itu banyak orang yang hilang tanpa sebab, dipenjara tanpa ada sidang di
pengadilan, bahkan dibunuh begitu saja. Menurut beberapa sumber, semua itu
adalah perintah dari presiden kala itu yang ingin membuat shock therapy. Buat
kalian yang mau tau lebih jelas tentang penembak misterius, bisa cek di Google.
Di kampung gue, kampung yang masih sepi penduduknya
karena baru dijadikan pemukiman. Kampung yang dibatasi oleh laut dan hamparan
sawah. Jalan utama masih tanah dan kalau musim hujan, beceknya minta ampun.
Rumah-rumah warga juga masih jarang. Untuk menuju kampung, kita akan melewati
hamparan sawah dan semak ilalang yang cukup tinggi. Dan orang-orang yang lewat
jalan itu sangat jarang. Kebanyakan orang lebih memilih untuk memutar lewat
jalan lain walau jauh tapi sudah banyak penduduknya.
Dulu, di kampung gue ada seorang preman insaf sebut
aja namanya Kliwon (yang pasti bukan nama aslinya). Tatonya banyak, dia
ditakuti banyak orang, usianya sekitar 30an tahun. Dulu pekerjaan utamanya
adalah nelayan, sampingannya adalah rampok. Untungnya dia gak pernah
ngerampok warga kampungnya sendiri. Kalau Kliwon mau ngerampok, dia bakal ke tempat
yang jauh, bersama gerombolannya. Beberapa kali dia ditangkap polisi dan beberapa
kali juga bebas dari penjara. Tapi setelah beberapa kali dipenjara, dia
akhirnya memilih untuk menjadi seorang nelayan saja dan meninggalkan kehidupan
gelapnya.
Suatu ketika, Kliwon pergi melaut meninggalkan anak
dan istrinya. Di kampung gue, kalau orang melaut biasanya cuma sehari aja, berangkat
sore, pulangnya pagi. Tapi saat itu, Kliwon sudah tidak pulang beberapa hari.
Karena suaminya tidak pulang-pulang, istri Kliwon akhirnya mencari-cari kabar
tentang suaminya. Tapi sayangnya, tak ada satu pun dari kami yang mengetahui
keberadaannya.
Setelah bertanya kesana-kemari tapi tidak membuahkan
hasil, akhirnya istri Kliwon mencoba mencari suaminya dengan menyusuri jalan
yang biasa digunakan suaminya untuk melaut. Saat ia tiba di sebuah daerah yang
sepi, yang di kanan kirinya tumbuh ilalang tinggi, ia melihat sekawanan anjing
yang sedang menggonggong, mereka seperti melihat sesuatu. Selain anjing, di
tempat itu juga tercium bau busuk yang menyengat hidung. Karena penasaran,
istri Kliwon menghampiri sekawanan anjing itu, kemudian ia masuk ke dalam
semak-semak, mencari tahu sumber bau busuk itu. Sebenarnya warga yang sering
melintasi tempat itu sudah mencium bau busuk itu, tapi tak berani mencari tahu
sumbernya.
Betapa kagetnya dia saat menemukan sesuatu di dalam
sana. Dia melihat sesosok mayat dengan tato di dadanya, tato yang sangat
dikenalinya. Mayat itu sudah busuk dan dikerumuni lalat. Di dekat tubuh bertato
itu masih berserakan rantang nasi dan beberapa barang lainnya. Mayat itu tampak
mengenaskan karena di keningnya terdapat lubang peluru dan bekas darah yang
mengering. Bukan cuma itu, mata mayat itu melotot, kedua tangannya tertekuk
seperti seekor anjing yang sedang mencoba berdiri. Dan mayat itu adalah
suaminya yang hilang beberapa hari lalu.
Melihat suaminya telah tewas mengenaskan, ia pun
pulang meminta bantuan warga. Sontak warga langsung ke lokasi untuk melihat
kebenaran itu. Orang berbondong-bondong datang karena penasaran, dan gue gak
mau ketinggalan untuk melihatnya. Di dalam semak-semak itu gue ngelihat mayat
Kliwon yang sangat mengenaskan dengan mata melotot. Kata orang-orang yang
datang, kalau matinya seperti itu, dia bakal gentayangan. Tapi gue gak mau
percaya aja dengan desas-desus seperti itu.
Setelah ditemukannya mayat Kliwon, kampung kami
menjadi resah, warga menjadi takut untuk keluar rumah di malam hari. Kami
bertanya-tanya siapakah pelaku yang membunuhnya, yang menyarangkan sebuah
peluru di keningnya. Kalau orang biasa tidak mungkin, pasti pelakunya adalah
orang-orang yang terbiasa memegang senjata. Beberapa orang katanya pernah
melihat dua orang berpakaian hitam, berkacamata hitam, menaiki sebuah sepeda
motor, hilir mudik di dalam kampung, di hari sebelum kematiannya. Sepertinya, Kliwon
sudah dibuntuti sebelum dia ditembak mati di tempat yang sepi.
Ketakutan kami tidak hanya disebabkan oleh adanya
penembak misterius itu aja, tapi di hari-hari berikutnya terjadi kejadian aneh
di kampung kami. Benar kata orang-orang, Kliwon yang mati secara tidak wajar
akhirnya meresahkan warga. Beberapa hari setelah ditemukannya mayat itu. pintu-pintu
rumah warga sering diketuk pada tengah malam, tapi setelah dibuka tak ada orang
sama sekali. Dan itu terjadi tidak sekali, tapi beberapa kali.
Pernah suatu malam gue kebangun karena kebelet mau
kencing, waktu itu tengah malam, entah tepatnya jam berapa. Saat gue keluar
dari kamar, gue mendengar ada seseorang mengetuk pintu rumah. Dia cuma
mengetuk, tidak mengucapkan salam. Awalnya gue cuek karena berpikir itu mungkin
halusinasi gue aja. Tapi beberapa saat kemudian ketukan di pintu itu muncul
lagi. Gue mengira itu rumah tetangga yang sedang diketuk, namun gue tersadar
kalau rumah tetangga yang diketuk gak mungkin suaranya sejelas ini. Untungnya
pas ketukan kedua, kakak perempuan gue keluar dari kamar.
“Kak, denger suara itu juga.” Tanya gue.
“Iya, aku dengar dari tadi.”
“Mungkin ada tamu, Kak.”
“Kalau tamu biasanya dia ngucapin salam.” Jelasnya.
Gue mikir sebentar, “Iya, ya. Gak mungkin kalau itu
tamu.” Kemudian suara pintu diketuk itu muncul lagi.
Akhirnya kami memberanikan diri ke pintu depan,
berharap memang ada orang di luar sana, tamu dari jauh mungkin.
Kami ke arah pintu kemudian membuka horden dan
melihat keluar dari kaca jendela. Betapa terkejutnya kami setelah mengetahui
tidak ada siapa-siapa di luar sana. Kontan gue dan kakak ketakutan. Tapi karena
penasaran, kami gak langsung balik ke kamar, tapi duduk di ruang tamu dan
berharap suara itu datang lagi. Tapi sayangnya setelah beberapa lama, suara itu
tak ada lagi. Kami pun kembali masuk ke dalam kamar dan gue pun lupa buat
kencing.
Besoknya warga kampung gempar karena yang rumahnya
diketuk gak cuma satu atau dua rumah saja, tapi hampir seluruh rumah. Yang
bikin kami tercengang, ternyata rumah kami diketuk secara bersamaan. Beberapa
warga ada yang sempat membuka pintu rumahnya karena mengira ada tamu yang
datang tengah malam, tapi mereka tak menemukan seorang pun. Kemudian kabar itu
terdengar oleh penjaga kuburan tempat mayat Kliwon dikebumikan. Katanya,
sebenarnya itu bukan suara pintu yang diketuk, tapi itu suara peti mati Kliwon
yang diketuk-ketuk pemiliknya. Karena di hari yang sama, dia mendengar jelas
suara itu berasal dari kuburan yang kebetulan bersebalahn dengan rumahnya. Percaya
gak percaya, gue dipaksa untuk percaya. Secara logika, mana mungkin orang bisa
mengetuk pintu banyak rumah di saat bersamaan. Selain suara ketukan di pintu,
beberapa warga juga ada yang sempat melihat Kliwon sedang berjalan sendirian di
tengah malam.
Akibat kejadian itu, banyak orang yang ketakutan
untuk beraktivitas di malam hari. Banyak juga orang yang tidak berani melintasi
jalan tempat di mana jasad Kliwon ditemukan. Warga kampung lebih memilih
melewati jalan yang lain meski harus memutar jauh. Gue yang waktu itu masih SD
dan kalau ke sekolah pasti lewat tempat itu, terpaksa harus melewati jalan lain
ketimbang harus ketakutan saat melintasi tempat itu.
Untungnya, seiring berjalannya waktu, keresahan itu
pun berakhir. Tidak ada lagi suara pintu yang diketuk-ketuk, tidak ada penampakan
Kliwon. Tapi meski begitu, tempat mayat Kliwon ditemukan akhirnya menjadi
angker. Beberapa orang sempat melihat mahluk aneh, berbadan besar berwarna
hitam, berdiri di sekitar tempat itu. Di lain waktu juga ada beberapa orang
yang pernah melihat sekawanan anak kecil yang bermain di tengah malam. Kalau
larut malam, tak ada satu pun orang yang berani melewatinya. Bahkan sampai
sekarang, kalau gue lewat tempat itu pas malam hari, gue masih ngerasa was-was.
Setelah lebih dari 20 tahun lamanya, tempat itu
sekarang sudah ramai. Sawah sudah jadi perumahan dan rumah-rumah warga. Meski
sudah ramai, tempat jasad Kliwon ditemukan masih ditumbuhi ilalang dan tanahnya
dibiarkan kosong. Di dekatnya ada sebuah lapangan kecil tempat anak-anak
setempat bermain bola. Sebagai penanda, ada sebuah pohon besar tumbuh di sana.
Pohon itu dulu masih kecil, tempat gue berteduh saat main layangan bersama
teman-teman. Pohon itu sekarang jadi tempat berteduh anak-anak yang bermain bola.
Seandainya mereka tahu apa yang terjadi di bawah pohon itu, mungkin mereka
tidak akan pernah bermain di tempat itu lagi.
Gue cerita ini bukan bermaksud untuk membuat kalian
takut. Gue cuma mau ngasih gambaran betapa di jaman itu orang begitu gampangnya
dihilangkan nyawanya. Bahwa di jaman itu betapa mudahnya orang diculik karena
menantang keras kebijakan pemerintah yang berkuasa. Jaman di mana kita disuguhi
laporan perkembangan kemajuan ekonomi yang selalu manis. Jaman di mana kami
selalu dipertontonkan film G-30S/PKI yang entah apakah film itu benar adanya.
Sekarang, kita bernafas di era demokrasi. Era di
mana kita bisa bersuara lantang. Era di mana kita bisa memilh secara langsung
presiden yang kita inginkan. Kapan lagi kita bisa bersuara, turun ke jalan
mengkritisi pemerintahan. Kapan lagi kita bisa mendapatkan informasi
seluas-luasnya. Kalau jaman dulu, mana bisa. Berkicau lantang akan hilang,
bikin perkumpulan akan dicurigai. Salah—salah bisa dicap sebagai PKI.
Jaman dulu mana bisa kita buat beginian. Bikin beginian bisa bahaya.
Hidup dan bernafas di jaman sekarang itu enak, enak
banget malah. Kita bisa protes kalau ada kebijakan yang sekiranya bisa
memberatkan rakyat. Kita bisa berkumpul sampai larut malam, nongkrong bersama
teman-teman. Kita bisa membuat tato sebanyak apa pun tanpa harus dicap preman,
tidak takut dihilangkan nyawanya oleh penembak misterius seperti nasibnya Kliwon. Kita
bisa membuat lagu yang mengkritisi pemerintahan tanpa takut dibredel seperti
yang menimpa bung Iwan Fals di masa itu. Kita bisa berkali-kali ngetwit bernada
protes kepada pak presiden. Membuat gambar-gambar kritikan kepada pemerintah
lalu diposting ke media sosial. Sekarang bebas, bebas tapi bertanggung jawab.
Semoga saja, tulisan gue kali ini membuka wawasan
kalian tentang masa lalu. Bisa merasakan betapa tidak nyamannya hidup di waktu
itu. Biarlah kejadian itu menjadi bagian dalam hidup gue, bagian hidup
orang-orang yang pernah merasakan kelamnya masa itu. Kalian cukup merasakan
betapa nikmatnya hidup di alam demokrasi seperti ini. Kalau pun misalnya nanti
BBM naik lagi, kalau pun kalian tidak suka dengan kebijakan itu, silakan
protes, karena itu hak kalian. Gak usah takut diculik, gak usah takut ditembak,
semua tidak seperti dulu lagi.