Buruhku Sayang, Buruhku Malang


Kemarin gue lagi iseng-iseng baca TL, trus nemu sebuah twit yang tulisannya kek gini, “Buruh kalau mau gaji gede, sekolah yang tinggi dong. Pfffttt.” Waktu gue baca nih twit, hati gue langsung berasa ditusuk-tusuk, sakittt….!. Sebegitu rendahkah kaum buruh yang beberapa bulan terakhir ini sibuk turun ke jalan demi berjuang untuk bisa mendapatkan gaji yang layak.
Ada betulnya sih omongan itu, tapi gak seutuhnya benar. Kalau dipikir-pikir siapa sih yang gak mau sekolah tinggi, siapa sih yang gak mau melanjutkan pendidikan sampai sarjana. Namun pada kenyataannya, untuk mendapatkan itu gak segampang kita membalikkan telapak tangan, gak selincah tangan si pengacara sumpah pocong ngetwit, dan gak secepat Eneng mutusin pertunangannya sama statusisasi labil ekonomi. Semua itu butuh biaya yang gak sedikit dan gak semua orang terlahir dari keluarga yang mampu.
Gue pernah menjadi salah satu bagian dari mereka selama 9 tahun lamanya dan gue salah satu orang yang gak mampu kuliah sampai tinggi karena orangtua gue miskin. Dengan terpaksa, lulus SMA gue merantau, menjadi seorang buruh pabrik yang bergaji minim di Jakarta. Bertahan hidup dengan upah seadanya, menyisihkan gaji, menghemat makan demi bisa mengirimkan uang ke keluarga di kampung. Gue aja yang hidup bujangan susah ngebagi gaji, gimana yang udah berkeluarga dan punya beberapa anak yang masih sekolah. Gak kebayang deh susahnya mereka.
Kebanyakan kaum buruh itu datang dari keluarga yang gak mampu, keluarga miskin yang gak bisa melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Mereka terpaksa menjadi buruh pabrik untuk membiayai kehidupan dirinya, anak-anaknya dan keluarganya. Gue yakin, gak ada satu pun dari mereka yang sejak kecil bercita-cita menjadi buruh. Ini hanyalah nasib, nasib yang saat ini sedang mereka jalani dan entah kapan akan berubah. Walau begitu, setidaknya mereka sudah mengurangi beban pemerintah dalam mengatasi pengangguran.
Jadi buruh itu susah, sedih, bahkan nasibnya tragis. Buruh pabrik itu terkadang seperti budak, kadang dimaki dan terkadang dihabisi. Sebagai contohnya, kasus Marsinah yang sampai sekarang gak ada kejelasannya, bahkan baru-baru ini terjadi kasus penyekapan buruh pabrik panci yang ada di Tangerang, mereka bekerja paksa tanpa digaji. Walau gak semuanya buruh pabrik nasibnya demikian, tapi kebanyakan sih iya.
Dari cerita beberapa teman gue yang kerja di pabrik lain, di pabrik tempat mereka bekerja tidak diperbolehkan adanya serikat buruh. Tanpa adanya serikat buruh, pihak perusahaan akan mudah melakukan tindakan yang semena-mena. Gaji mereka dibawah Upah Minimum Regional (UMR). Yang parahnya lagi, seringnya perusahaan menunggak gaji karyawan selama 2-3 bulan. Jika karyawan sering protes, mereka akan diintimidasi dan diancam akan dipecat.
Di banyak perusahaan, serikat pekerja dianggap musuh yang gak boleh tumbuh di lingkup perusahaannya. Bagi karyawan yang nekat mendirikan serikat atau menjadi anggota salah satu serikat buruh, nasib mereka akan berujung pada PHK sepihak. Dan salah satu orang yang nekat mendirikan serikat buruh di pabriknya adalah gue dan Kian (Siapa Kian, baca postingan gue sebelumnya ya). Waktu itu, di tempat gue kerja sudah ada serikat buruh, hanya saja pimpinannya telah disetir oleh pemilik perusahaan. Karena kami merasa dikhianati, akhirnya kami membuat serikat buruh tandingan. Gue, Kian dan beberapa teman yang usianya relatif muda dan punya semangat tinggi serta nekat, mulai membangkang. Kami bergerilya mencari tahu serikat mana yang organisasinya solid. Dalam beberapa bulan akhirnya kami berhasil membentuk serikat baru. Hampir semua anggota yang di serikat lama berpindah haluan, kecuali pengurus-pengurusnya yang lebih pro kepada perusahaan.
Gue kebetulan memegang jabatan sebagai Sekretaris Jendral (SekJen) dan Kian sebagai Koordinator Lapangan (Korlap), jabatannya keren yak :D. Kami beberapa kali memimpin demo di pabrik gara-gara perusahaan selalu telat bayar iuran jamsostek yang menyebabkan karyawan ditolak di beberapa rumah sakit. Bukan cuma masalah itu yang kami persoalkan, tapi juga masalah PHK karyawan yang semena-mena. Karyawan lama yang sebentar lagi pensiun terpaksa harus gigit jari tidak mendapatkan dana pensiun puluhan juta karena dipecat dengan alasan kelalaian yang tak jelas. Pengabdian selama hampir tiga puluh tahun berujung pada uang jasa beberapa juta saja.
Karena seringnya membangkang, vokal terhadap kebijakan perusahaan dan selalu memimpin buruh untuk demo, hasilnya gue dan Kian didemosi, turun jabatan seperti waktu pertama kali kami kerja di sana, bukan cuma itu, kami juga dipindahkan ke divisi lain dan berujung pada pemecatan. Tragis memang, tapi ini nyata, ini terjadi pada gue sendiri, terjadi di negeri tercinta kita ini.
Itu tadi secuil cerita tentang pengalaman gue selama bekerja sebagai seorang buruh pabrik. Dan sekarang gue mau sedikit bahas mengenai upah kaum buruh selama ini. Dari tahun 2001-2010, gaji gue mentok di 1,2 juta. Itu juga gue megang jabatan lumayan di pabrik. Kalau gak megang jabatan, gaji bakal mentok di angka 1 juta kurang. Selama 9 tahun itu, gaji kaum buruh cuma naik antara 45.000 – 80.000. Kenaikan upah yang paling besar cuma di tahun 2002 sebesar 165.009.00,- dan 2006 sebesar 107.257.00,- Nih gue kasih gambaran lengkap upah buruh DKI Jakarta yang gue ambil dari wikipedia.

Menyambung dengan twit seseorang di awal tulisan ini, apakah dengan gaji itu para buruh bisa kuliah? Jawaban gue “Bisa”. Asalkan dia masih bujangan dan ada yang harus dikorbankan, dan gue pernah melakukannya. Dari upah yang gue dapet sebagai seorang buruh pabrik, gue nekat kuliah malam dengan biaya pas-pasan. Waktu itu, gue cuma sanggup kuliah D3 karena biaya S1 di Jakarta gak ada yang murah. Konsekuensi yang harus gue lakuin yaitu menghemat makan, hutang sana-sini, kelaparan di kampus dan berhenti mengirimkan uang ke orangtua di kampung. Tapi apakah semua orang berani melakukannya? Jawaban gue “Tidak”. Gak semua orang mau kelaparan, gak semua orang mau terjebak hutang, gak semua orang tega menghentikan kiriman uang buat orangtua mereka di kampung. Dan bukan jaminan juga setelah mendapatkan ijazah dan gelar sarjana, kita pasti akan mendapatkan pekerjaan bergaji tinggi.
Gue nulis ini bukan bermaksud membela mereka, atau membenarkan tentang kegiatan mereka yang kadang memblokir jalan seenaknya, sehingga menimbulkan kemacetan parah, tapi gue bermaksud untuk membuka kacamata pandangan yang selama ini banyak orang pakai. Pandangan yang melihat sepintas profesi mereka, pandangan yang mengecilkan kaum buruh, pandangan yang menggambarkan bahwa kaum buruh hanya sumber masalah dan biang kemacetan di beberapa kota. Padahal, baju yang kita kenakan, kendaraan yang kita gunakan, bahkan barang-barang elektronik yang kita pakai sehari-hari adalah jerih payah mereka selama ini. Apakah cacian yang menjadi ucapan terimakasih kita kepada mereka? Kalau iya, itu sama saja kita seperti para politikus busuk yang merangkul mereka ketika dibutuhkan, lalu mencampakan mereka ketika jabatan sudah didapatkan.
Cobalah berpikir sejenak, mereka melakukan ini demi keluarga mereka, demi susu anak mereka, demi pendidikan anak-anak mereka, yang mudah-mudahan kelak, mereka mendapatkan upah yang layak agar mereka bisa membiayai kuliah anak-anaknya seperti yang dilakukan oleh orangtua kalian. Mereka turun ke jalan bukan karena mereka ingin bergaji tinggi kemudian menjadi kaya raya, punya gadget keren, bisa membayar cicilan mobil mewah, liburan ke Eropa, dsb. Mereka hanya meminta upah yang layak untuk kelangsungan hidup mereka di mana biaya hidup semakin tinggi karena ditariknya subsidi untuk rakyat. Mereka turun ke jalan karena teriakan mereka selama ini tidak di dengar. Mereka melakukan ini karena kerja keras dan keringat mereka selama ini dibayar murah. Mereka turun ke jalan karena mereka semakin dipinggirkan dan diinjak-injak. Jadi, cobalah melihat sesuatu dari sudut pandang yang lain agar kita gak menjadi manusia kerdil berpelakat sarjana.
Banyak orang yang mengira kalau upah tinggi justru akan merugikan kaum buruh sendiri. Banyak perusahaan akan menghentikan kegiatannya di Indonesia dan memilih berinvestasi ke luar negeri. Tapi lihatlah nyatanya, gaji di negeri kita ini jauh dibandingkan dengan gaji buruh di Taiwan, Jepang dan beberapa negara Asia lainnya.
Berikut Data Perbandingan Upah Minimum Bulanan di Asia dan sekitarnya tahun 2012 versi Departemen of Labor and Employment National Wages and Produktivity Commission yang saya copas dari web liputan6.com :
Negara Upah Minimum Bulanan terendah (US $) tertinggi (US $)
1. Australia - 3.901,89
2. New Zealand 2.096,07 - 2.620,09
3. Jepang 1.973,31 - 2.560,72
4. Korea Selatan - 953,89
5. Hongkong - 866,22
6. Taiwan - 594,10
7. Philipina 291,61 - 318,00
8. Thailand 209,82 - 283,54
9. China 120,14 - 237,12
10. Indonesia 88,36 - 161,33
11. Vietnam 66,51 - 95,01
12. Kamboja - 61,01 
Sebenarnya, akar permasalahannya bukan di gaji buruh yang tinggi, tapi birokrasi di negeri ini yang berbelit-belit sehingga investor enggan menanamkan modalnya. Birokrasi yang diisi oleh banyak mafia, koruptor dan sebagainya. Seandainya birokrasi diisi oleh orang yang jujur, orang yang tepat maka tidak akan ada lagi buruh yang berunjuk rasa di jalanan, tak ada lagi TKI yang menjadi buruh pabrik di negeri orang.
Biarkanlah mereka turun ke jalan menuntut janji-janji yang pernah ducapkan oleh pejabat pemerintah, wakil rakyat yang ada di DPR, Dinas Ketenagakerjaan, dsb. Biarkanlah mereka mengurus urusannya dan cobalah kita memberikan sedikit empati kepada apa yang sedang mereka perjuangkan. Lagipula, mereka tidak akan setiap hari di jalan, menutup jalan pulang kita untuk bertemu keluarga di rumah. Dan semoga saja, pemerintah tidak menutup mata dengan biaya pendidikan yang sangat tinggi di negeri ini. Agar anak-anak buruh itu bisa kuliah dan tidak menjadi seorang buruh seperti orangtua mereka.
Untuk mengakhiri tulisan ini, gue mau menuliskan sebuah lirik lagu dari Iwan Fals dan Alm. Franky Sahilatua berjudul “Orang Pinggiran” sebagai bahan perenungan.
Orang pinggiran ada di trotoar, ada di bis kota, ada di pabrik-pabrik
Orang pinggiran di terik mentari, di jalan becek, bernyanyi dan menari
Lagunya nyanyian hati, tarinya tarian jiwa, seperti tangis bayi di malam hari
Sepinya waktu kala sendiri, sambil berbaring meraih mimpi
Menatap langit, langit tak peduli, sebab esok pagi kembali.
Orang pinggiran di dalam lingkaran, berputar-putar, kembali ke pinggiran

Leave a Reply